Dolar AS Menuju Rp16.000, Bisa Berkepanjangan Hingga 2023

Seperti diketahui, banyak negara menaikkan suku bunga, termasuk The Fed yang menaikkan 75 basis poin pada September lalu.
JAKARTA, PEDOMANMEDIA - Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut. Usai menembus level Rp15.484, dolar Amerika Serikat (AS) kini menuju kisaran Rp16.000.
Ekonom melihat gejala keterpurukan rupiah memungkinkan berkepanjangan hingga akhir tahun. Ancaman resesi tahun depan juga bisa menebalkan potensi itu.
Terkait hal ini Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat dolar masih akan menguat. Ia memprediksi kondisi ini akan terjadi hingga akhir tahun 2023.
"Ini bakal berlanjut sampai akhir 2023, tergantung dari beberapa faktor kunci utama. Salah satunya adalah ada ancaman resesi ekonomi global," katanya dikutip detikcom, Senin (17/10/2022).
Bhima mengatakan, ancaman resesi membuat banyak investor keuangan mengalihkan aset mereka. Dari berinvestasi di negara berkembang, mereka memilih mengamankan aset ke sektor yang aman terhadap dolar.
Berdasarkan prediksinya, dolar bisa menyentuh Rp 16.000 di awal tahun 2023 atau bahkan sebelum itu. "Pelemahan rupiah bisa sampai akhir tahun 2023 di range Rp 15.700-Rp 16.100," katanya melanjutkan.
Sependapat dengan Bhima, Founder & CEO Emtrade Ellen May bakal terus terjadi. Bahkan di Desember 2022 ini, dolar bisa menyentuh Rp 16.000.
"Bisa sampai Rp 16.000 setidaknya sampai Desember 2022 ini," katanya saat dihubungi detikcom.
Pengetatan moneter yang serempak dan agresif juga menjadi faktor lainnya. Seperti diketahui, banyak negara menaikkan suku bunga, termasuk The Fed yang menaikkan 75 basis poin pada September lalu.
Menurut Ellen, kenaikan suku bunga membuat dolar AS terus menguat. Namun, jika tahun depan inflasi terkendali, ada kemungkinan The Fed menyetop kenaikan suku bunga. Ellen berharap perekonomian kembali membaik pada kuartal II 2023.
Sebagai informasi, rupiah pernah melewati Rp 16.000 per dolar AS di bulan Maret 2020, tepatnya di masa pandemi. Dari catatan detikcom, Rupiah pernah dijual Rp 16,521 per dolar AS saat itu meski bisa turun dengan cepat.
"Bedanya waktu Covid rupiah Rp 16 ribu bisa turun lagi dengan cepat. Sekarang ini kita mencapai ekuilibrium baru tapi dengan rupiah yang lebih lemah," tambahnya.
Bhima menambahkan, 'durian runtuh' yang diterima RI dari penjualan komoditas alam seperti minyak mentah dan CPO tak bisa jadi patokan lagi. Apalagi harga komoditas sudah mengalami koreksi, sehingga berpengaruh pada nilai tukar rupiah.
"Satu semester pertama rupiah masih terjaga baik (penjualan) komoditas pertambangan maupun perkebunan. Dengan adanya pembalikan arah dari beberapa harga komoditas seperti koreksi pada CPO sawit, itu bisa membuat penerimaan devisa mengalami tekanan,"
Selain itu, surplus neraca dagang dan kebutuhan impor juga mempengaruhi nilai rupiah. "Terakhir adalah kebutuhan impor, baik impor pangan, bahan baku dan konsumsi. Impor yang meningkat bisa melemahkan rupiah karena kebutuhan valasnya bengkak," pungkasnya.