Selasa, 02 Februari 2021 09:32

Menakar Pilkada Serentak 2024, Siapa Untung, Siapa Buntung

Ilustrasi (INT)
Ilustrasi (INT)

Revisi UU Pemilu kembali memicu perdebatan antarpartai politik. Dalam draf UU mengisyaratkan pilkada digelar 2022 dan 2023. Namun sebagian parpol menginginkan mundur di 2024.

JAKARTA, PEDOMANMEDIA - Parpol masih tarik ulur soal pilkada serentak 2022-2023 yang diwacanakan digelar 2024. Kepentingan untung rugi politik jadi alasan perbedaan antarparpol.

Sebenarnya siapa untung jika pilkada di gelar 2024. Dan siapa buntung jika dimajukan ke 2022 dan 2023.

Revisi UU Pemilu kembali memicu perdebatan antarpartai politik. Dalam draf UU mengisyaratkan pilkada digelar 2022 dan 2023. Namun sebagian parpol menginginkan mundur di 2024.

Baca Juga

Partai Golkar misalnya condong pada opsi pilkada 2024. Partai beringin juga mengusul agar UU Pemilu tak perlu direvisi.

"UU Pemilu kan baru disahkan 2016. Saya kira rasional kalau ada yang menginginkan revisi ditunda dulu. Karena terlalu dini menilai berhasil tidaknya UU ini. Harusnya ini berjalan dululah. Jangan terlalu dipaksakan revisi," ujar Ketua Bappilu Partai Golkar Maman Abdurahman.

Maman mengatakan, tidak ada yang dirugikan jika pilkada serentak digelar 2024. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2022 dan 2023 tak masalah jika pilkada ditarik ke 2024.

"UU Pilkada sekarang tidak merugikan para kepala daerah yang habis masa jabatannya di 2022 dan 2023 dan ingin maju lagi. Saya kira nda masalah. Kepentingan politiknya tidak akan terganggu," papar Maman.

Ia menyebut UU Pemilu yang berlaku saat ini disahkan tahun 2016, sehingga tidak terkait dengan kepentingan politik kepala daerah yang habis masa jabatan 2022/2023.

Kata Maman, kepala daerah yang terpilih di 2017 dan 2018 sebenarnya sudah tahu bahwa pilkada serentak digelar 2024. Secara psikologi mereka siap dengan penundaan itu.

Maman menjelaskan, UU Pilkada tak mendesak untuk direvisi. UU ini masih cukup sejalan dengan kondisi politik yang ada.

Sehingga upaya untuk mendorong revisi tak terlalu relevan. Yang dibutuhkan sekarang kata Maman adalah memaksimalkan penerapan UU dalam pelaksanaan pilkada agar menghasilkan

Pilkada berkualitas.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjawab prokontra revisi UU Pemilu. Kemendagri menegaskan, sesuai amanat UU maka pilkada serentak digelar 2024.

Hal itu dikatakan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menyikapi adanya usulan Revisi Undang-Undang Pemilu, usai melakukan pertemuan di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat.

Dijelaskan Bahtiar, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015. Dalam perubahan tersebut, di antaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024.

Perubahan tersebut, bukanlah tanpa dasar. Melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.

“Nah oleh karenanya, kami berpendapat bahwa UU ini mestinya dijalankan dulu, tentu ada alasan-alasan filosofis, ada alasan-alasan yuridis, ada alasan sosiologis, dan ada tujuan yang hendak dicapai mengapa pilkada diserentakkan di tahun 2024,” kata Bahtiar.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 pasal 201 ayat 5 disebutkan bahwa “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020.”

Kemudian, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam pasal 201 ayat 8 menjadi “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.”

“Oleh karenanya, mestinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetap sesuai dengan UU yang ada, yaitu dilaksanakan serentak di seluruh wilayah negara indonesia pada tahun 2024,” ujarnya.

Dengan demikian, pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun 2024 merupakan amanat UU yang perlu dilaksanakan, dan dievaluasi usai pelaksanaannya. Sehingga evaluasi tersebut dapat menjadi dasar dalam menentukan apakah revisi perlu dilakukan atau tidak.

“UU tersebut mestinya dilaksanakan dulu, nah kalau sudah dilaksanakan nanti tahun 2024, dievaluasi , hasil evaluasi itu lah yang menentukan apakah UU Nomor 10 tahun 2016 itu harus kita ubah kembali atau tidak, nah tetapi mestinya kita laksanakan dulu,” jelasnya.

Editor : Muh. Syakir
#Pilkada 2024 #Kemendagri #Partai Golkar #Revisi UU Pemilu
Berikan Komentar Anda