UJUNG PENA: #Kabur Aja Dulu
Fenomena #KaburAjaDulu seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk segera melakukan perbaikan dalam berbagai sektor.
Oleh Aswar Hasan
Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial Indonesia, khususnya di platform X (sebelumnya Twitter) dan Instagram. Tagar #kaburajadulu merangkum keresahan generasi muda terhadap kondisi Tanah Air di awal 2025.
Kompetisi sehat yang tidak ditemui, tak terkecuali dari sektor politik, disinyalir membuat generasi muda berharap hengkang dari negeri sendiri. Sejumlah unggahan yang diikuti tagar #kaburajadulu di platform X, misalnya, mempersoalkan kesulitan para pemuda menyambung hidup di Indonesia hingga kemungkinkan mencari penghasilan di negeri orang (Kompas, 19/2/2025).
Fenomena ini tidak hanya sekadar tren di dunia maya, tetapi juga mencerminkan realitas yang dihadapi oleh banyak anak muda Indonesia. Terutama sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, tingginya biaya hidup, serta ketidakpastian masa depan menjadi alasan utama di balik munculnya tagar ini.
Banyak dari mereka merasa bahwa peluang untuk berkembang lebih terbuka lebar di negara lain dibandingkan di tanah air.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Oki Rahadianto Sutopo, menyatakan bahwa kemunculan tagar #KaburAjaDulu merupakan refleksi atas kesenjangan global yang disadari oleh generasi muda.
Mereka melihat perbedaan kualitas hidup, kesempatan kerja, dan jaminan sosial antara Indonesia dan negara lain, yang mendorong keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Negara cq pemerintah harus melihat fenomena ini tak sekadar isu sesaat, tetapi merupakan indikasi bahwa ada yang tak beres dalam pengelolaan sumber daya manusia potensial di republik ini. Kabur ke negeri orang adalah sebuah fenomena ”brain drain”, yakni larinya sumber daya manusia hebat anak bangsa ke negeri orang akibat sulitnya memperoleh pekerjaan layak di negeri sendiri.
Disinyalir banyak penerima beasiswa ke luar negeri tak kembali lagi ke Indonesia karena kurangnya apresiasi negara terhadap para talenta berketerampilan tinggi. Kelompok inilah yang disebut diaspora, menikmati hidup nyaman di mancanegara tanpa beban apa-apa.
Mereka tak bisa dilabeli anasionalis, sebab negara sendiri juga tak mampu menyiapkan lahan kerja serta memberi upah yang layak. Negara harus introspeksi. Jika tidak, #kaburajadulu tak sekadar sebuah narasi, tetapi akan semakin masif menjadi obsesi anak-anak muda Indonesia.
Jangan sampai cita-cita Indonesia Emas 2045 sekadar fatamorgana, di mana anak-anak muda Indonesia yang produktif dan bertalenta justru menjadi tulang punggung pembangunan dan kemajuan negara lain (Dari surat pembaca Kompas.20/2/2025,Budi Satono Sortiardjo).
Peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat, kondisi tersebut terjadi karena generasi muda melihat adanya kompetisi yang ketat, tetapi tidak sehat. Kondisi ini, menurut dia, terjadi di berbagai aspek kehidupan.
Fenomena ini merupakan "brain drain", di mana talenta-talenta terbaik Indonesia memilih untuk bekerja atau menetap di luar negeri demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukkan bahwa 7,47 juta penduduk usia produktif masih menganggur, sementara rata-rata gaji pekerja hanya sekitar Rp3,27 juta per bulan. Kondisi ini membuat banyak anak muda merasa bahwa bekerja di luar negeri menawarkan prospek yang lebih menjanjikan.
Fenomena #KaburAjaDulu seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk segera melakukan perbaikan dalam berbagai sektor dengan memastikan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat adalah langkah-langkah yang perlu segera diambil agar generasi muda merasa optimis dan memilih untuk berkontribusi di tanah air daripada mencari peluang di negeri orang. Wallahu a’ lam bisawwabe.
