Sabtu, 25 November 2023 04:50

KPK di Tengah Pusaran Kasus Firly dan Agenda Pemberantasan Korupsi

Taqwa Bahar (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin Konsentrasi Hukum Tatanegara)
Taqwa Bahar (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin Konsentrasi Hukum Tatanegara)

Polemik hukum yang terjadi di tahun politik mendeskripsikan betapa carut-marutnya penegakan hukum di tengah masyarakat. Bukan karena faktor ketidak taatan masyarakat terhadap aturan yang berlaku, namun dikarenakan penegakan hukum yang dinilai tidak konsisten dan konsekuen sehingga menyebabkan saling sandera antar penegak hukum.

Taqwa Bahar
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin Konsentrasi Hukum Tatanegara
Editor : Administrator

Polemik hukum yang terjadi di tahun politik mendeskripsikan betapa carut-marutnya penegakan hukum di tengah masyarakat. Bukan karena faktor ketidak taatan masyarakat terhadap aturan yang berlaku, namun dikarenakan penegakan hukum yang dinilai tidak konsisten dan konsekuen sehingga menyebabkan saling sandera antar penegak hukum.

Padahal boleh dikata, hampir disetiap kesempatan Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan bahwa Penegakan hukum harus profesional, proporsional, adil seadil-adilnya dan tidak boleh pandang bulu.

Namun kenyataan sekarang memasuki tahun politik yang paling menghebohkan publik adalah ditetapkannya status tersangka oleh Polda metro jaya terhadap Ketua KPK Firly Bahuri.

Firly diduga kuat terlibat pemerasan terhadap mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo. Dengan ditetapkannya Firly sebagai tersangka, maka potret penegakan hukum di Indonesia menjadi tercoreng, sangat disayangkan prestasi KPK yang selama ini mengalami trend kenaikan dalam hal pemberantasan korupsi menjadi tercoreng karena salah satu pimpinannya berurusan dengan hukum.

Kepercayaan masyarakat terhadap KPK dengan adanya masalah ini tentu mengalami penurunan, serta muncul beragam opini yang menyudutkan KPK karena ulah Firly.

Walaupun yang berbuat adalah oknum, akan tetapi tidak melemahkan KPK secara institusi, sebab dengan kejadian ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua bahwa sebaik apapun kinerja institusi penegak hukum tidak menjamin bahwa pelaksanaannya bersih dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.

Korupsi merupakan suatu tindakan yang menyimpang yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan.

Sebagaimana Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sebagai perbuatan curang, dapat di suap dan tidak bermoral.

Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau perusahaan atau sebagainya uuntuk kepentingan pribadi atau orang lain. Sedangkan di dunia Internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Pengertian tindak pidana korupsi juga dapat diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu.

Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi, yaitu sebagai berikut:

a. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan,

b. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban, dan

c. Penyembunyian pelanggaran.

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960.

Penegakan hukum ditahun politik ini semakin menarik manakala penindakan terhadap suatu perkara dugaan korupsi diidentikkan dengan politisasi.

Padahal tidak semuanya dapat dipolitisir, selama hukum mengutamakan prinsip keadilan, etika, moralitas dan norma sebagai pilar utama maka kasus yang melibatkan penegak hukum tidak akan terjadi.

Potret hukum di Indonesia

Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar.

Meski sebagai Negara yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi namun dalam penegakan hukum di Indonesia, masih sering ditemukan permasalahan yang berujung pada ketidakadilan.

Banyak contoh kasus yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat dimana hukum dapat dipolitisasi yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan sosial.

Hal ini juga tidak terlepas dari peran penegak hukum dalam menerapkan aturan-aturan secara menyeluruh tanpa pandang bulu.

Penerapan hukum dikatakan belum maksimal disebabkan karena masih ada pihak-pihak yang tidak taat dengan aturan hukum yang berlaku, para pejabat negara masih banyak yang melakukan korupsi dan banyak juga kasus-kasus hukum yang tidak terselesaikan secara proporsional.

Ketimpangan hukum yang terjadi dikarenakan masih adanya aparat penegak hukum yang bersikap diskriminatif dalam menegakkan aturan.

Fenomena ini sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat dilihat dan dirasakan bagaimana hukum itu hanya menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan politik.

Selain itu banyak permasalahan hukum yang terhambat penyelesaiannya dikarenakan adanya intervensi oleh kekuasaan dan pemilik modal, siapa yang dekat dengan kekuasaan maka dialah yang memiliki otoritas untuk mengatur segala sesuatunya terkait dengan situasi sosial dan politik.

Hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah dimana kekuasaan politik dapat mempengaruhi kebijakan hukum yang ada disemua lini kehidupan sosial melalui pembahasan di legislatif.

Seringkali di dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR, terjadi timpang tindih kepentingan dimana partai politik memiliki andil untuk mengubah aturan melalui sidang paripurna.

Bahkan guna menyelamatkan kepentingan pihak tertentu terkait aturan yang dibuat maka dilakukan negosiasi dan kompromi politik dan ini seringkali terjadi dengan melibatkan elit partai sehingga bukan sesuatu hal yang baru jika ada pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pusaran korupsi di ranah politik menyebabkan tidak sedikit kepala daerah, anggota DPR yang ikut terlibat dalam skandal yang merugikan keuangan negara tersebut.

Berangkat dari adanya permainan elit partai politik dalam mengatur setiap kebijakan yang diambil di legislatif dan eksekutif yang kemudian menyebabkan pusaran tindak pidana korupsi semakin meluas dikarenakan berbagai kepentingan yang mewarnai setiap pengambilan keputusan di kedua lembaga tersebut.

Keputusan yang diambil melalui kompromi politik terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Adanya kepentingan kelompok tertentu yang memonopoli setiap program-program pemerintah yang dibahas di DPR melahirkan ketidakadilan.

Penegak hukum memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas penegakan hukum di sebuah negara. Di Indonesia, kinerja para penegak hukum seringkali dianggap tidak memuaskan.

Ketidakpuasan masyarakat ini menjadi pertanda lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hukum yang dianggap sebagai cara untuk mencari keadilan bagi masyarakat justru hadir sebagai alat untuk mengadili orang-orang kecil dan berpihak kepada orang-orang yang memiliki jabatan serta kekuataan finansial.

Penerapan hukum ditengah kehidupan masyarakat semakin jauh dari harapan terwujudnya keadilan sosial sebab perangkat hukum tidak bekerja secara proporsional.

Aturan yang dibuat hanya berlaku kepada mayoritas masyarakat kelas bawah, sementara masyarakat kelas atas selalu diistimewakan.

Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi agar penegakan hukum tidak ada unsur diskriminasi didalam penerapannya.

Permasalahan yang muncul terkait persoalan hukum terus menjadi perbincangan hangat dikarenakan masih banyak pelanggaran hukum yang dilakukan dan yang paling menghebohkan adalah keterlibatan pejabat negara melakukan korupsi.

Perkara korupsi saat ini merupakan suatu hal yang menarik untuk dibicarakan, apalagi jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang terkenal dan memiliki imej bersih serta merakyat.

Tindak pidana korupsi oleh pejabat pemerintah biasanya diawali dengan penyimpangan administratif. Korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi tradisi yang terjadi secara turun-temurun.

Perilaku Korupsi merupakan salah satu ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Masalah korupsi juga bukan masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia.

Tindak pidana korupsi telah merayap dan menyelinap dalam berbagai bentuk, atau modus operandi sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat.

Konsep wewenang dalam kajian hukum khususnya hukum administrasi dan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait.

Menurut tradisi ilmu hukum, titik taut “hukum administrasi” berada di antara norma hukum pemerintahan dan hukum pidana, sehingga dapat dikatakan sebagai “hukum antara”.

Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut dapat ditegakkan sanksi pidana.

Karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan berdasarkan Hukum Administrasi diakhiri “In cauda venenum” dengan sejumlah ketentuan pidana, secara harfiah In cauda venenum berarti ada racun di ekor/buntut dalam setiap tindak kebijakan.

Patokan untuk melihat hal tersebut yang pertama adalah apakah ada hubungan antara klausula yang menyebabkan terjadinya penyimpangan administratif dengan kerugian yang menjadi konsekuensinya.

Sebagai contoh PP No. 10 Tahun 2000 yang menyeret anggota DPRD karena menafsirkan kata “dan lain-lain” untuk membayarkan premi asuransi para anggota DPRD tersebut.

Dimana jika terjadi kerugian keuangan negara maka sudah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Berikan Komentar Anda