Haji Kiri Zaman Kini
RUU HIP yang berpotensi memberikan kebebasan kepada komunisme tersebut membuat banyak ormas, baik nasionalis maupun Islam di berbagai wilayah di Indonesia bergerak
Aksi penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus menggelinding. RUU HIP yang berpotensi memberikan kebebasan kepada komunisme tersebut membuat banyak ormas, baik nasionalis maupun Islam di berbagai wilayah di Indonesia bergerak. Pemuda Pancasila (PP), Persatuan Ummat Islam (PUI), Gerakan Umat Islam Tolak Komunis (GAMIS), dan puluhan ormas lainnya turut mematikan ideologi komunisme di Indonesia.
Aksi antikomunis umat Muslim melalui ormas Islam, yang merupakan fokus tulisan ini, membuat saya tergerak untuk membentangkan pemikiran Haji Mohamad Misbach atau dikenal dengan Haji Misbach yang menyandingkan Islam dan Komunisme. Haji revolusioner yang punya nama masa kecil Ahmad dan berganti nama setelah menikah menjadi Darmodiprono tersebut dikenal sebagai propagandis. Keteguhan menyandingkan ajaran Islam dan Komunisme membuat ia dijuluki: “Sang Haji Merah atau Sang Haji Kiri”.
Tokoh pergerakan yang juga seorang mubalig didikan pesantren yang menguasai bahasa Arab dan fasih mengutip ayat-ayat al-Quran dalam tulisan-tulisan jurnalistiknya tersebut sangat menarik untuk diperbincangkan di tengah ketegangan antara Islam dan Komunisme baru-baru ini.
Pembentuk organisasi dakwah Islam, “Siddiq, Amanah, Tablig Fathonah”, yang juga seorang aktivis politik Sarekat Islam (SI) tapi kemudian bergabung dengan SI Merah yang dibentuk oleh Semaun dari Semarang yang setelah mengalami proses radikalisasi sejak 1919 dan memisahkan diri dari SI menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1923 itu bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena menganggap SI di bawah duet kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto-Haji Agus Salim melakukan politik kooperatif terhadap pemerintahan penjajah.
Tjokro-Salim sendiri memilih menempuh politik moderat, karena ingin menjaga persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan, yang saya kira banyak dianut umat Islam Indonesia saat ini, walaupun politik kebangsaan itu sendiri telah menimbulkan radikalisasi gerakan Islam dalam SI dan dalam dasawarsa 1920-an, bahkan memimpin radikalisasi untuk mencapai kemerdekaan yang bersikap non-kooperatif di bawah arahan Sukarno.
Haji Misbach, menurut cacatan M. Dawam Rahardjo dalam makalahnya berjudul, “Islam dan Maxisme”, adalah seorang muslim yang taat dari segi akidah, ibadah, dan akhlak. Tapi dalam pandangan kemasyarakatannya, ia mengikuti pandangan yang ia sebut sebagai “Islam progresif” yang humanis dan peduli terhadap nasib kaum miskin sebagaimana dapat dijumpai pada ayat-ayat Makiyah khususnya surat al-Ma’un atau surat al-Balad. Bersama-sama dengan berbagai ayat yang dikutipnya, terutama yang ditulisnya dalam majalah Islam Bergerak dan Medan Moeslimin, aspek kemasyarakatan dalam al-Quran itu mengalami proses ideologisasi.
Aspek ajaran Islam itu memberikan ilham politik dalam menghadapi kolonialisme dan kapitalisme. Islam dipahami sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi Komunisme.
Dalam penangkapan Misbach, Komunisme adalah suatu ideologi yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas dan tanpa penindasan, suatu masyarakat “sama rata sama rasa”, artinya sama rata dalam hal material dan sama rasa adalah gejala spiritual. Islam dan Komunisme dipandangnya memiliki kesamaan dalam tujuan dan perbedaannya bisa saling mengisi. Keduanya, tulis Misbach, sebagai doktrin perjuangan, adalah dua kekuatan besar dalam melenyapkan penjajahan, penindasan, dan eksploitasi kapitalisme. Keduanya bertemu dalam ontologi tentang penjajahan dan kapitalisme sebagai musuh bersama, tapi memiliki kesamaan dan perbedaan dalam aksiologi. Dari segi epistemologi, keduanya berbeda, tetapi Misbach melihat kegunaan Komunisme sebagai metode perjuangan yang ilmiah dan relevan.
Perlunya Haji Kiri
Pemikiran Haji Misbach mengenai “Komunisme Islam” yang membawa pengaruh besar terhadap penghapusan kapitalisme yang identik dengan penindasan dan kesengsaraan rakyat perlu diperjuangkan haji-haji kiri zaman kini. Pemikiran kiri Haji Misbach di abad ke-20 yang berusaha menentang ketimpangan dalam masyarakat Hindia Belanda akibat kekuatan kapitalis yang masa itu disokong penguasa sangat relevan untuk diikuti dan dipraktikkan haji-haji di masa sekarang.
Pembacaan Misbach terhadap masyarakat kecil (kawula alit) di sekitar Surakarta pada saat itu dalam kehidupan yang sangat miskin, yang dipaksa takluk dengan kekuatan besar kapitalisme berbalut kolonialisme perlu dilakukan kembali untuk membaca situasi Indonesia sekarang.
Kemiripan ajaran Islam dan Komunisme terutama berkaitan dengan keadilan sosial masih harus diperjuangkan. Usaha Haji Misbach yang berusaha mengasosiasikan kedua ajaran tersebut dengan tujuan pembebasan rakyat kecil dari penindasan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera perlu diteruskan oleh haji-haji abad ke-21. Ajaran Islam yang mengharamkan adanya penindasan dan keserakahan, yang hal itu pula ada dalam konsep sama rata dan sama rasnya ajaran komunisme tidak perlu diingkari.
Namun sayang sekali, perubahan politik pasca kemerdekaan mengubah jalan kedua ideologi tersebut. Komunisme akhirnya dilarang walaupun ajaranya tidak sama sekali hilang. Saat ini pergulatan kapitalisme, Islam dan komunisme senyatanya selalu muncul sebagai kekuatan besar di dunia. Penyebab eksisnya perguatan ini adalah ketimpangan sosial, penindasan dan hilangnya rasa keadilan yang terus hadir pada kalangan masyarakat. Sehingga tidak heran perlawanan selalu muncul terhadap penguasa dan pemerintah sebagai musuh baru. Kritik dan perlawanan muncul disebabkan pemerintah tidak merepresentasikan kebututuhan rakyat kebanyakan.
Tidak mengherankan walaupun paham komunisme dilarang tetapi semangat untuk melakukan perlawanan ala gerakan komunis selalu muncul walaupun dalam bentuk yang berbeda. Inti ajaran komunisme, yaitu pembebasan rakyat yang tertindas, masih terus hidup.
Sungguh perlu dipertanyakan “kehajiahannya” manakala seorang haji di negeri ini membiarkan Amerika Serikat (AS) yang menguasai dan menguras sumber daya alam melalui PT. Freeport McMoran di Tembagapura, Mimika, Papua. Kita patut mempertanyakan “kemabruran” seorang haji yang membiarkan perusahaan-perusahaan migas China, PetroChina mislanya, yang terus mengeruk kekayaan alam bangsa ini. Alangkah tidak etis manakala umat Islam bergelar haji tidak protes terhadap penguasaan British Petroleum (BP), contohnya, yang menjadi operator lama sektor migas di Indonesia.
Dan masih banyak perusahaan asing lainnya, dengan berbagai sektor ekonomi, yang mengusai sumber daya Indonesia yang perlu mendapat respons dari haji-haji di nusantara ini. Kegigihan Haji Masbach melawan penindasan ekonomi zaman Hindia Belanda wajib diteladani oleh semua haji di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini: Indonesia.