Ramadhan: Jihad Melawan Hawa Nafsu dan Radikalisme
Metode berdakwah yang perlu diperhatikan agar tidak melahirkan interpretasi yang melenceng dari ajaran Islam.
Marhaban Ya Ramadhan suatu ungkapan yang seringkali terdengar di saat menyambut datangnya bulan suci ramadhan, bulan yang penuh berkah dan maghfirah. Di setiap memasuki bulan Ramadhan, umat Islam terpanggil untuk berlomba lomba mengerjakan amal kebajikan dan menjalankan puasa.
Puasa sebagai sarana ibadah yang membentuk sikap dan karakter manusia sebagai hamba yang serba memiliki kekurangan. Bagaimana kemudian umat manusia secara khusus umat Islam dihadapkan dengan dinamika hidup antara yang berlebihan (Mabhalagh fih) , berkecukupan (muktafii) dan yang Kekurangan (Naqs).
Umat Islam di seluruh penjuru dunia diwajibkan untuk berpuasa dan di dalam menjalankan ibadah di bulan suci ramadhan, segala sesuatu yang berhubungan dengan hawa nafsu tidak di perbolehkan untuk dilakukan sebab akan membatalkan puasa. Sebagaimana di ketahui bahwa puasa adalah menahan diri yang Secara bahasa, puasa atau shaum diambil dari kosakata bahasa Arab yang berarti menahan diri dari segala sesuatu. Jadi, puasa itu menahan diri dari segala perkara seperti makan, minum, berbicara tentang hal-hal yang tidak bermanfaat, menahan nafsu dan syahwat.
Ada beberapa macam puasa sebagaimana pendapat mayoritas Ulama yakni diantaranya:
1. Puasa wajib yang terdiri dari: puasa ramadhan, nadzar dan kafarat.
2. Puasa sunnah yang terdiri dari: puasa senin kamis, muharam, syawal, arofah.
3. Puasa makruh yang terdiri dari puasa yang dikhususkan pada hari jumat dan sabtu.
4. Puasa haram yang terdiri dari puasa hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.
Dari macam macam puasa tersebut maka berpuasa dibulan ramadhan termasuk suatu kewajiban untuk di laksanakan oleh umat Islam. Sebagaimana merujuk dalam surah Al baqarah Ayat 183 : ya ayyuhal ladzina Amanu Kutiba alaikumussiyam kama kutiba alalladzina min qoblikum laallakum tattakun.
Artinya : Hai Orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
Artinya bahwa kewajiban berpuasa telah dijalankan oleh umat sebelumnya seperti yang tercantum dalam surah Albaqarah (183), dimana perintah diwajibkan untuk berpuasa bagi orang-orang yang menjalankannya (Beriman).
Makna dari Konotasi di wajibkan berarti diharuskan dan tidak boleh ditinggalkan, kecuali dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Ada beberapa kategori yang tidak mewajibkan seseorang untuk berpuasa diantaranya :
1. Orang yang sedang Sakit (Albaqarah ayat 185)
2. Seseorang yang sedang dalam perjalanan Jauh (Musafir)
3. Orang yang lanjut Usia berdasarkan kemampuan fisiknya, dan dibolehkan membayar fidyah ke Fakir miskin dan Anak yatim (Albaqarah 184)
4. Wanita yang sedang mengalami haid atau dalam keadaan Nifas
5. Orang yang sedang dalam masa berobat secara khusus menderita penyakit ginjal dan terus melakukan cuci darah
6. Orang yang diharuskan mengkonsumsi obat secara teratur.
Darisinilah Islam mengutamakan konsep keadilan bagi mereka yang tidak mampu untuk menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan beberapa pengecualian.
Adil menurut beberapa pendapat ahli Fikih bahwa keadilan secara luas adalah menempatkan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (Wad Syai’ Fi Maqamih).
Menurut Ibnu Qudamah, salah satu Ahli Fikih, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT.
Jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.
Sehingga apa yang diajarkan dalam Islam memiliki keseimhangan, dimana hak dan kewajiban di sandarkan pada tempatnya dan tercapainya rasa adil bagi semua pihak yang menjalankan perintah Allah termasuk kewajiban menjalankan ibadah Puasa di bulan Ramadhan dengan syarat dan pengecualian seperti yang disebutkan diatas.
Kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa dibulan Ramadhan adalah wujud dari implementasi nilai-nilai sosial sebab bulan ramadhan selain menjadi bulan yang suci nan penuh keberkahan juga menjadi bulan yang penuh ujian keimanan serta kepekaan dan kepedulian manusia terhadap manusia lainnya.
Pentingnya membentengi diri dari hal-hal yang bersifat negatif selama bulan ramadhan dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT merupakan bagian dari ibadah.
Apalagi dimasa sekarang ini dunia sedang dilanda krisis akibat wabah virus corona tak terkecuali Indonesia yang sedang dalam tahap pemulihan, dan sedang beupaya untuk bangkit dari dampak yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19.
Tentunya ujian dan cobaan semakin bertambah oleh karena itu bulan Ramadhan kali kedua di masa pandemi ini dapat menuntun kita lebih banyak bermuhasabah diri, juga memberi pemahaman kepada kita dalam memaknai puasa sebagai solusi keummatan di dalam memerangi kebhatilan dan semua perbuatan yang mudharat.
Bulan Ramadhan selalu di identikkan dengan kegiatan kegiatan sosial, setiap kali datangnya bulan Ramadhan umat Islam memacu diri untuk meraih keberkahan dengan cara berbagi kepada sesama.
Keberkahan yang di dapatkan di bulan ramadhan adalah motivasi untuk berbenah menyongsong kemenangan suci.
Ramadhan juga sebagai awal dari perwujudan manusia yang paripurna dari sisi kemanusiaan, prilaku dan cerminan perubahan. Setiap orang menginginkan perubahan pada dirinya, dalam pengertiannya segala perbuatan yang bernilai dosa dapat di jajaki agar tidak terulang kembali dimasa yang akan datang.
Jihad melawan Hawa Nafsu dan Radikalisme
Suatu ketika sepulang Nabi Muhammad SAW dari medan jihad dalam menegakkan panji panji syiar Islam, Para Sahabat kemudian bertanya kepada Nabi tentang makna jihad yang sesungguhnya, Nabi lalu menjawab bahwa Jihad yang paling tertinggi adalah jihad melawan Hawa Nafsu.
Hawa Nafsu hidup dan bercokol dalam diri setiap manusia, dari hawa nafsu terbentuk perangai dan karakter manusia yang egois. Itulah yang menjadikan manusia selalu merasa paling benar dengan apa yang dilakukannya tanpa melihat dampak yang ditimbulkan dari setiap perbuatannya. Tidak sedikit perilaku, perbuatan merugikan orang lain yang dilakukan jika harus mengikuti hawa nafsu belaka.
Misalnya Menghina, menyebarkan ujaran kebencian, melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan pribadi maupun kelompok, kesemuanya termasuk dalam kategori perbuatan yang mengikuti hawa nafsu.
Itulah sebabnya Mengapa Rasulullah SAW menempatkan Jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad yang tertinggi dibandingkan dengan jenis jihad lainnya, karena Rasulullah SAW tidak menginginkan suatu saat nanti ummatnya saling membenci, membuat kekacauan dengan mengatasnamakan ajaran agama, padahal makna jihad tidak spesifik pada konsep peperangan yang di lakukan oleh para pahlawan terdahulu dalam mempertahankan ideologi, politik dan agama yang dianut.
Konsekuensi Jihad adalah merebut kedamaian, kerukunan dari suatu tindakan orang-orang fasik yang menyebabkan ketidak harmonisan dan mengganggu kedamaian.
Orang-orang Fasik yang dimaksud salah satunya adalah kelompok yang sering membuat keonaran dan menciptakan teror dimana-mana yang tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun terlebih dalam ajaran Islam.
Jihad memang merupakan suatu anjuran dalam Islam bilamana ada pihak-pihak yang ingin merusak menindas umat Islam.
Jihad yang dimaksud tidak bermakna substantif pada perang fisik memberangus suatu golongan yang dijadikan musuh melainkan bagaimana eksistensi ajaran Islam membawa ketentraman dan melindungi kelompok minoritas dari arogansi kelompok mayoritas sebagaimana yang pernah Nabi contohkan ketika mendatangi menjenguk orang yahudi yang sedang sakit .
Jihad yang diyakini sebagian pemahaman sebagai tujuan mulia dengan mati syahid bukan berarti memerangi umat yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Pandangan keliru seperti ini sudah seharusnya di perbaiki agar tidak menjalar menjadi doktrin dan merusak tatanan hidup bermasyarakat di Indonesia yang plural.
Maka dari itu di momen bulan suci Ramadhan kali ini, peran pemerintah dan tokoh agama saling bersinergis dengan melakukan klasifikasi beebagai kerawanan berkembangnya doktrin radikal memboncengi disetiap kegiatan keagamaan.
Metode berdakwah yang perlu di perhatikan agar tidak melahirkan interpretasi yang melenceng dari ajaran Islam. Olehnya itu diharapkan penerapan dakwah yang menyejukkan melibatkan ulama yang representatif perlu dilakukan sebagai bentuk jihad melawan hawa nafsu dan radikalisme.