Strategi Struktural dan Kultural Penanganan Terorisme
Kami berdua berharap, kejadian di Makassar dan Jakarta, jadi batu loncatan pemerintah untuk lebih tegas dan tepat mencegah lajunya penyebaran gerakan ekstrimis. Bukan hanya di tataran gejala, tapi sampai ke akar-akarnya dengan menangkap para "pendoktrin intelektual" di kelompok terorisme.
Di Makassar, menjelang berakhirnya bulan Maret 2021 yang dingin, di saat agenda Paskah belum tuntas, aksi kekerasan terjadi di ruang publik.
Peristiwa bom bunuh diri di Gerbang Katedral Makassar, tak hanya menewaskan dua orang pelaku sepasang suami-istri, tetapi juga mengguncang sisi kemanusiaan jutaan masyarakat Indonesia.
Kejadian itu dikutuk oleh banyak pihak karena menebar ketakutan, sekaligus rasa prihatin dan duka kepada para korban yang mengalami luka-luka.
Hal itu menarik simpati M Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR RI. Ia beserta koleganya menuju Makassar meninjau lokasi kejadian dan mengunjungi beberapa korban di rumah sakit Bhayangkara. Wakil Ketua DPR RI diterima Kapolda Sulsel Irjen Merdisyam di Mapolda, juga hadir bersama rombongan komisi III DPR dan didampingi Kepala BNPT Komjen Boy Rafli sebagai bentuk dukungan kepada para korban. Selain memberi bantuan, kedatangannya juga membawa misi menenangkan kondisi psikologis masyarakat.
“Kepada pimpinan gereja serta jemaat agar tidak takut dalam melakukan kegiatan ibadah, karena aparat keamanan melakukan penjagaan dan menjamin keamanan keselamatan para jemaat," ucap Azis dengan simpatik.
Kamis 1 April 2021, setelah agenda bertemu korban bom bunuh diri dan pengurus katedral Makassar rampung, malamnya saya mendapat kesempatan berbincang dengan Bang Azis Syamsuddin di sekitar Pettarani.
Waktu menunjukkan pukul 21.00 Kami menyebutnya dengan Ngobrol Kebangsaan sambil ngopi. Saya dan Bang Azis saling bertukar-tangkap keresahan terkait rentetan peristiwa ekstremisme yang dialami bangsa Indonesia belakangan ini.
Pada 28 Maret 2021, bom bunuh diri meledak di Makassar dan tak berselang lama, pada 31 Maret 2021 seorang perempuan muda, menyerang Mabes Polri menodongkan senjata ke beberapa polisi.
Upaya pengamanan pun dijalankan. Nasib perempuan itu berakhir setelah tubuhnya tertembus peluru. Pelaku di Mabes dan sepasang pelaku bom bunuh diri di Makassar, meninggalkan wasiat yang ditulis tangan di selembar kertas. Ada indikasi mereka terkait dengan jaringan terorisme.
Ancaman terorisme merupakan ancaman non-militer, selain masalah narkoba dan kejahatan siber, yang tak boleh dipandang sebelah mata. Aksi Terorisme yang belakangan ini hadir secara vulgar di ruang publik.
Jika tak ditangani dengan tepat, akan jadi ancaman besar di masa yang akan datang. Kita tak tahu sudah seberapa masif dan terorganisir doktrin kekerasan ditiupkan ke tengah masyarakat indonesia oleh para "pimpinan teror". Tanpa penanganan struktural dan kultural yang tepat, masalah ini akan menggurita, mengancam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Kita semua, saya dan Bang Azis, merasa riskan menyadari bahwa pelaku teror di Makassar dan Jakarta, masih terhitung cukup muda. Mereka tergolong dalam kategori usia produktif yang sangat potensial membawa Indonesia menjadi negara yang lebih baik di masa depan.
Namun, nasi telah jadi bubur. Mereka yang usianya tak lebih dari 25 tahun itu, lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan cara mencelakai orang lain daripada melakukan hal yang bermanfaat bagi orang di sekitarnya.
Akal sehat mereka telah terisi doktrin kekerasan sehingga gampang membenarkan aksi teror. Mereka menganggap aksi itu telah menjadi martir pada sistem pemerintahan yang mereka anggap sebagai sistem thogut. Bukan aksi dengan menebar kasih sayang kepada sesama, yang menjadikan keharmonisan hidup berbangsa sebagai titik berangkat menjaga toleransi dan kedamaian.
Hal ini kemudian menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya dari para penyesat yang tak terbendung mencecoki anak muda dengan doktrin kekerasan. Mesti ada perubahan regulasi di UU Sistem Pertahanan Negara, dalam menjawab situasi ancaman non militer yang serba rumit dan tak mudah terpetakan polanya.
Karena, tanpa upaya struktural yang juga melibatkan semua stakeholder, generasi bangsa Indonesia dari level SMP, SMA, dan Mahasiswa kemungkinan tak bisa keluar dari jaring paham ekstrim yang akan mengarah ke terorisme.
Kami berdua berharap, kejadian di Makassar dan Jakarta, jadi batu loncatan pemerintah untuk lebih tegas dan tepat mencegah lajunya penyebaran gerakan ekstrimis. Bukan hanya di tataran gejala, tapi sampai ke akar-akarnya dengan menangkap para "pendoktrin intelektual" di kelompok terorisme.