Minggu, 22 Agustus 2021 10:05

Kritik Aktivis Soal Perokok Anak: Ada yang Mencuri untuk Beli Rokok

Perokok anak tumbuh mencengangkan setiap tahun. (ilustrasi/int)
Perokok anak tumbuh mencengangkan setiap tahun. (ilustrasi/int)

Jadi untuk menghentikan populasi perokok jalannya tak parsial. Harus ada kebijakan komprehensif.

MAKASSAR, PEDOMANMEDIA - Rencana pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) ditanggapi beragam. Para pegiat anak melihat langkah ini tak efektif menekan prevalensi perokok anak.

"Tidak korelatif sebenarnya antara kenaikan cukai rokok dengan perokok anak. Anak merokok bukan karena harga. Tapi karena lemahnya regulasi," terang

aktivis perempuan Andi Tenri Farida.

Baca Juga

Ia menilai remaja dilarang merokok hanya sebatas etika saja. Bukan pelanggaran hukum.

Tidak ada remaja yang dihukum karena merokok. Ini masalahnya.

Mungkinkah harga tinggi menghentikan orang merokok? Mungkin ya. Mungkin juga tidak kata Tenri. Tapi kenaikan CHT setiap tahun tak menurunkam populasi perokok.

"Asumsinya bisa dua. Pertama jika tak terbeli orang mungkin saja berhenti. Karena rokok akan jadi barang mahal. Tidak terjangkau. Dan akhirnya oleh sebagian orang memilih berhenti," katanya.

Kedua, harga bisa saja bukan alasan untuk berhenti. Karena rokok bukan soal mahal dan murah. Tapi soal kebutuhan.

Bahkan berdaarkan penelitian pihaknya, banyak anak yang mengalami ketergantungan pada rokok. Ada yang sampai melakukan tindakan kriminal demi beli rokok.

"Ada anak yang mencuri untuk beli rokok. Ada juga yang rela kerja jadi buruh bangunan hanya demi rokok. Ini menandakan tidak berjalannya proteksi pemerintah terhadap perokok anak," paparnya.

Cukai hasil tembakau (CHT) memang sengaja dinaikkan sebagai bagian dari skema menaikkan harga rokok demi menekan populasi perokok anak dan kaum perempuan. Kenapa demikian? Karena menurut Tenri, bangsa ini sudah lama hidup dengan rokok.

"Bangsa ini juga banyak menggantungkan pundi-pundi ekonomi dari tembakau. Rokok sudah beberapa dekade menjadi penyangga pajak. Jadi bukan hanya soal orang merokok itu nikmat," sebutnya.

Tapi negara juga menikmatinya sampai di sini. Kalau kita sulit berhenti, itu karena kita memang bangsa perokok.

Kedua kata Tenri, sebenarnya soal efektif tidaknya tergantung regulasi. Kalau sekadar menaikkan harga dengan tujuan agar tak terbeli, tidak banyak menekan jumlah perokok.

Faktanya, dari hasil penelitian populasi perokok usia remaja dan kaum perempuan tumbuh di atas 5 persen per tahun. Padahal, setiap tahun harga rokok juga naik.

"Ini memberi gambaran, secara simultan grafik perokok tak terpengaruh banyak oleh kenaikan harga. Rokok lebih pada pemenuhan psikologis," jelasnya.

Menurutnya, dibanderol berapapun rokok pasti tetap terjangkau. Karena orang merokok lebih banyak dipengaruhi oleh pemenuhan psikologi.

Mereka ketagihan. Dan itu berlanjut karena regulasi pelarangan rokok lemah.

Berdasarkan data saat ini prevalensi merokok untuk anak-anak menjangkau usia 10-18 tahun. Pemerintah menargetkan bisa diturunkan sesuai dengan RPJMN menjadi 8,7% pada 2024.

Salah satu upaya menekan angka itu yakni dengan kenaikan cukai hasil tembakau. Kenaikan CHT akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal. Affordability.

Jadi untuk menghentikan populasi perokok jalannya tak parsial. Harus ada kebijakan komprehensif. Artinya, penanganan masalah benar benar diurut dari hulu ke hilir.

Editor : Muh. Syakir
#Perokok Anak #Prevalensi Perokok #Rokok #CHT Rokok #CHT
Berikan Komentar Anda