Editorial
Bangsa Perokok
Remaja dilarang merokok hanya sebatas etika saja. Bukan pelanggaran hukum. Tidak ada remaja yang dihukum karena merokok. Ini masalahnya.
MAKASSAR, PEDOMANMEDIA - Hari ini harga rokok diestimasi mulai naik. Kata Menkeu Sri Mulyani, skema baru harga rokok akan sangat tinggi. Tujuannya agar tak terbeli.
Mungkinkah harga tinggi menghentikan orang merokok? Mungkin ya. Mungkin juga tidak.
Asumsinya bisa dua. Pertama jika tak terbeli orang mungkin saja berhenti. Karena rokok akan jadi barang mahal. Tidak terjangkau. Dan akhirnya oleh sebagian orang memilih berhenti.
Kedua, harga bisa saja bukan alasan untuk berhenti. Karena rokok bukan soal mahal dan murah. Tapi soal kebutuhan.
Cukai hasil tembakau (CHT) memang sengaja dinaikkan sebagai bagian dari skema menaikkan harga rokok demi menekan populasi perokok anak dan kaum perempuan. Kenapa demikian? Karena bangsa ini sudah lama hidup dengan rokok.
Bangsa ini juga banyak menggantungkan pundi-pundi ekonomi dari tembakau. Rokok sudah beberapa dekade menjadi penyangga pajak. Jadi bukan hanya soal orang merokok itu nikmat. Tapi negara juga menikmatinya sampai di sini. Kalau kita sulit berhenti, itu karena kita memang bangsa perokok.
Kedua, sebenarnya soal efektif tidaknya tergantung regulasi. Kalau sekadar menaikkan harga dengan tujuan agar tak terbeli, tidak banyak menekan jumlah perokok.
Faktanya, dari hasil penelitian populasi perokok usia remaja dan kaum perempuan tumbuh di atas 5 persen per tahun. Padahal, setiap tahun harga rokok juga naik.
Ini memberi gambaran, secara simultan grafik perokok tak terpengaruh banyak oleh kenaikan harga. Rokok lebih pada pemenuhan psikologis.
Dibanderol berapapun rokok pasti tetap terjangkau. Karena orang merokok lebih banyak dipengaruhi oleh pemenuhan psikologi. Mereka ketagihan. Dan itu berlanjut karena regulasi pelarangan rokok lemah.
Dalam tulisannya beberapa waktu lalu, aktivis anak Meri Handani mencontohkan, remaja dilarang merokok hanya sebatas etika saja. Bukan pelanggaran hukum. Tidak ada remaja yang dihukum karena merokok.
Berbeda dengan miras, ada ekses secara hukum jika seseorang mengonsumsi miras dan mabuk mabukan. Padahal kata Meri, dua-duanya memiliki dampak pada kesehatan.
"Rokok dan miras sama sama merusak. Sayangnya rokok tidak punya regulasi hukum yang melarang anak anak mengonsumsinya. Saya kira di sini letak masalanya," jelasnya.
Kata Meri, masalahnya pada regulasi. Pemerintah tak punya regulasi yang bisa membatasi orang dalam merokok. Harusnya ada kalau kita mau menurunkan angka perokok. Paling tidak rokok dikategorikan tipiring untuk anak dan perempuan.
Berdasarkan data saat ini prevalensi merokok untuk anak-anak menjangkau usia 10-18 tahun. Pemerintah menargetkan bisa diturunkan sesuai dengan RPJMN menjadi 8,7% pada 2024.
Salah satu upaya menekan angka itu yakni dengan kenaikan cukai hasil tembakau. Kenaikan CHT akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal. Affordability.
Jadi untuk menghentikan populasi perokok jalannya tak parsial. Harus ada kebijakan komprehensif. Artinya, penanganan masalah benar benar diurut dari hulu ke hilir.